Tuesday, May 29, 2012

Hukum Kredit & Kartu Kredit dalam Islam

Hukum Kredit & Kartu Kredit

Kredit dibolehkan dalam hukum jual beli secara Islami. Kredit adalah membeli barang dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai tunai dengan bila dengan tenggang waktu. Ini dikenal dengan istilah : bai` bit taqshid atau bai` bits-tsaman `ajil. Gambaran umumnya adalah penjual dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu barang (x) dengan harga yang sudah dipastikan nilainya (y) dengan masa pembayaran (pelunasan) (z) bulan.
Namun sebagai syarat harus dipenuhi ketentuan berikut :
1. Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan kemudian. Misalnya : harga rumah 100 juta bila dibayar tunai dan 150 juta bila dibayar dalam tempo 5 tahun.
2. Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya mengalami keterlambatan sebagaimana yang sering berlaku.
3. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari praktek bai` gharar (penipuan) Untuk lebih jelasnya agar bisa dibedakan antara sistem kredit yang dibolehkan dan yang tidak, kami contohkan dua kasus sebagai berikut :
Contoh 1 :
Ahmad menawarkan sepeda motor pada Budi dengan harga rp. 12 juta. Karena Budi tidak punya uang tunai Rp.12 juta, maka dia minta pembayaran dicicil (kredit).
Untuk itu Ahmad minta harganya menjadi Rp. 18 juta yang harus dilunasi dalam waktu 3 tahun. Harga Rp. 18 juta tidak berdasarkan bunga yang ditetapkan sekian persen, tetapi merupakan kesepakatan harga sejak awal.
Transaksi seperti ini dibolehkan dalam Islam.
Contoh 2 :
Ali menawarkan sepeda motor kepada Iwan dengan harga Rp. 12 juta. Iwan membayar dengan cicilan dengan ketentuan bahwa setiap bulan dia terkena bunga 2 % dari Rp. 12 juta atau dari sisa uang yang belum dibayarkan.
Transaksi seperti ini adalah riba, karena kedua belah pihak tidak menyepakati harga dengan pasti, tetapi harganya tergantung dengan besar bunga dan masa cicilan. Yang seperti ini jelas haram.
Al-Qaradawi dalam buku HALAL HARAM mengatakan bahwa menjual kredit dengan menaikkan harga diperkenankan. Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo untuk nafkah keluarganya.
Ada sementar pendapat yang mengatakan bahwa bila si penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka haram hukumnya dengan dasar bahwa tambahan harga itu berhubung masalah waktu dan itu sama dengan riba.
Tetapi jumhur (mayoritas) ulama membolehkan jual beli kretdit ini, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Jual beli kredit tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas pemerkosaan dan kezaliman.
Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram. Imam Syaukani berkata: “Ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah yang kiranya lebih tepat.”
Kartu Kredit
Di zaman ini berbelanja dengan menggunakan kartu kredit memberikan banyak kelebihan, selain urusan gengsi.
Pertama, masalah keamanan.
Seseorang tidak perlu membaya uang tunai / cash kemana-mana. Cukup membawa sebuah kartu kredit dan biasanya kartu itu bisa diterima dimanapun di belahan dunia ini. Seseorang tidak perlu merasa khawatir untuk kecopetan, kecurian atau kehilangan uang tunainya. Bahkan bila kartu kredit ini hilang, seseorang cukup menghubungi penerbit kartu itu dan dalam hitungan detik kartu tersebut akan diblokir.
Kedua, masalah kepraktisan.
Membawa uang tunai apalagi dalam jumlah yang besar tentu sangat tidak praktis. Dengan kartu kredit seseorang bisa membawa uang dalam jumlah besar hanya dalam sebuah kartu. Ketiga, masalah akses. Beberapa toko dan perusahaan tertentu hanya menerima pembayaran melalui kartu kredit. Misalnya toko online di internet yang sangat mengandalkan pembayaran dengan kartu kredit. Kita tidak bisa membeli sebuah produk di amazon.com dengan mengirim wessel pos.
Namun tidak berarti kartu kredit itu bisa sukses di setiap tempat. Untuk keperluan belanja kecil dan harian, penggunaan kartu kredit tidak banyak berguna. Untuk jajan bakso di ujung gang, masih sangat dibutuhkan uang tunai. Tukang bakso tidak menerima American Visa dan sejenisnya.
Selain itu dengan maraknya kasus carding atau pemalsuan kartu kredit di internet terutama dari Indonesia, sampai-sampai transaksi online bila pemesannya dari Indonesia tidak akan dilayani. Pada dasarnya, prinsip kartu kredit ini memberikan uang pinjaman kepada pemegang kartu untuk berbelanja di tempat-tempat yang menerima kartu tersebut. Setiap kali seseorang berbelanja, maka pihak penerbit kartu memberi pinjaman uang untuk membayar harga belanjaan.
Untuk itu seseorang akan dikenakan biaya beberapa persen dari uang yang dipinjamnya yang menjadi keuntungan pihak penerbit kartu kredit. Biasanya uang pinjaman itu bila segera dilunasi dan belum jatuh tempo tidak atau belum lagi dikenakan bunga, yaitu selama masa waktu tertentu misalnya satu bulan dari tanggal pembelian.
Tapi bila telah lewat satu bulan itu dan tidak dilunasi, maka akan dikenakan bunga atas pinjaman tersebut yang besarnya bervariasi antara masing-masing perusahaan. Jadi bila dilihat secara syariah, kartu kredit itu mengandung dua hal. Pertama, pinjaman tanpa bunga yaitu bila dilunasi sebelum jatuh tempo. Kedua, pinjaman dengan bunga yaitu bila dilunasi setelah jatuh tempo.
Bila seseorang bisa menjamin bahwa tidak akan jatuh pada opsi kedua, maka menggunakan kartu kredit untuk berbelanja adalah halal hukumnya. Tapi bila sampai jatuh pada opsi kedua, maka menjadi haram hukumnya karena menggunakan praktek riba yang diharamkan oleh Allah SWT.

Hukum bisnis Investasi

Bismillahirrahmaanirrahiim

sumber : http://myquran.org/forum/index.php?topic=73079.0

coba menshare ilmu  :)

Kutip dari: Iqbal77
Assalamu'alaikum
saya pernah baca artikel ttg hukum bisnis investasi, didalam islam di halalkan bisnis tsb dengan syarat profit diberikan sekian % dari keuntungan usaha, sehingga investor bisa untung bisa rugi sejalan dengan pengusahanya.
bagaimana hukumnya jika bisnis tersebut menjanjikan keuntungan sekian % dari modal, dan usahanya tidak pernah rugi semenjak tahun 1998.
terima kasih

kalau memang nggak pernah tercatat ada kerugian dalam portofolio usaha maka memang nggak perlu dicantumkan, apa yang harus dicantumkan kalau memang nggak pernah ada

tapi tetap saja investor harus paham apabila terjadi kerugian, maka kerugian itu harus ditanggung bersama atau pribadi tergantung jenis akad di awal.

TS harus jeli, yang ditawarkan metode macam apa. Apakah tetap dijanjikan profit sharing tanpa pernah tau kondisi real yang terjadi sehingga ini bisa jatuh ke riba Qardh. Cirinya jelas, ada persentase mutlak dari jumlah investasi yang diberikan investor bukan dari keuntungannya.
Contoh A membuka toko kelontong, meminjam uang 10 juta pada B, A menjanjikan keuntungan 100rb (1% dari total investasi) perbulan sampai ia mampu melunasi hutangnya pada B. Ini termasuk riba qardh karena adanya tambahan atau kelebihan tertentu yang DISYARATKAN dari awal akad, yang tidak mempedulikan keuntungan besar maupun kerugian si usahawan (A)

kalau yang saya coba tangkap dari TS metodenya antara Mudharabah atau Musyarakah (CMIIW)

Misal usaha 98 ini selalu mencatatkan keuntungan dari sejak berdiri, maka bisa ditarik rata2 persentase keuntungan bulanan yang diperoleh, misal 5% dari total investasi. Si pemilik usaha 98 ini menawarkan antum u bergabung, ada 2 pilihan u usaha ini yaitu :

--(Mudharabah) >> investor pasif dimana si 98 ini hanya mengelola investasi hingga membuahkan hasil tanpa ikut menanamkan sejumlah modal u usaha tersebut. Ini yang kemudian persentase pembagian keuntungannya 40% u pengelola usaha dan 60% u investor.
Loh kok investor yang nggak kerja dapat lebih banyak  ??? karena kalau terjadi kerugian sepenuhnya ditanggung oleh investor dengan batas maksimum seluruh investasi yang ia tanamkan.
Bila terjadi kerugian biasanya cara pertama yang ditempuh adalah dengan menghitung kerugian usaha kemudian mengurangi besar kerugian usaha tersebut dari besaran profit sharingnya supaya modal si investor nggak tergerus banyak/malah nggak tergerus sama sekali (jika kerugiannya kecil) sehingga setelah masa rugi itu terlalui modal usaha masih bisa dipertahankan u diputar kembali

--(musyarakah) >> investor aktif ikut berpartisipasi dalam jalannya usaha dan pihak pengusaha pun menggabungkan sejumlah modal atau aset dalam usaha bersama mereka. Pembagian keuntungan sesuai dengan besaran modal awal mereka masing2 atau sesuai kesepakatan yang didasari kerelaan masing2

nah TS mau investasi ke usaha yang seperti apa, yang harus diperhatikan tentunya jenis usahanya dulu. Kalau jenis usahanya jual beli khamr misalnya, mau didasari akad syariah pun pasti akan tetap haram. Setelah itu tanyakan pada si pemilik usaha, jenis akad bagi hasil yang bagaimana yang akan digunakan. Jangan lupa mencatatkan akad tersebut disertai 2 saksi dari masing2 pihak yang memang bisa dipercaya. Last but not least, jangan lupa zakat dan infaqnya ya akhi  :)

Selamat berinvestasi, semoga hasilnya berkah  O0

Sponsored By :